Oleh : Ketua DPP KWIP, Deferi Zan, SE
Opini:
Pada Jum’at (26/5/23) kemarin, beberapa media menaikan berita Oknum Kajari Kotabumi, (Kastel) melarang wartawan untuk melakukan konfirmasi dengan membawa alat kerja berupa handphone.
Sikap itu, merupakan salah satu bentuk sikap arogansi yang ditunjukkan pejabat publik yang menghalang-halangi tugas peliputan dengan dalih prosedur dan ketetapan (Protap) dan kebijakan pimpinan.
Padahal, dalam pelaksanaan tugas, jurnalis dilindungi, Undang Undang Pokok Pers No 40 Tahun 1999 dan ancaman jelas bagi yang menghalangi pelaksanaan pekerjaan pers dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda 200 juta.
Menanggapi berita hangat ini, penulis mengingat cerita rekan wartawan seniornya pada era tahun 90,an s/d 2000 awal. Kala itu, wartawan mendatangi salah satu instansi pemerintah. Saat konfirmasi, tiba-tiba hpnya berdering dan pejabat itu dengan lugas mengatakan hp jangan di bawa ke ruangan titipkan saja di pos satpam. Rekan saya, segera bergegas keluar untuk menerima panggilan dan menitipkan hp ke satpam.
Kala itu, Hp bukan bagian dari alat kerja wartawan. Dalam peliputan, alat kerja yang melekat adalah kamera, buku saku dan recorder sebagai alat rekam.
Seiring dengan kemajuan tekhnologi, di era globalisasi tahun 2000-an ke atas, HP menjadi bagian dari kelengkapan alat tugas wartawan untuk peliputan. Fungsinya, bukan sebatas alat komunikasi seperti hp dulu. Fitur di dalam hp sudah digunakan sebagai alat rekam audio maupun visual sekaligus untuk menulis dan mengirim berita.
Sehingga, bila hp di tahan di era sekarang. Sama dengan menghalang-halangi tugas jurnalis di era dulu, yakni: larangan membawa kamera, buku saku dan recorder bagi wartawan.
Karenanya, perubahan zaman harus disikapi. Maka semangat perubahan era reformasi digaungkan pihak Kejaksaan dengan aturan Kode Etik Perilaku Jaksa yang tertuang dalam Peraturan Jaksa Agung RI nomor: Per-067/A/JA/07/2007.
Dalam bab pembukaan, tertulis dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, diperlukan sosok jaksa sebagai abdi hukum yang profesional, memiliki integritas kepribadian disiplin, etos kerja yang tinggi yang penuh tanggung jawab, senantiasa mengaktualisasikan memahami perkembangan global (era digital lisasi).
Aturan Kode Etik Perilaku Jaksa itu, adalah bagian dari reformasi birokrasi. Petugas pelayanan publik di tuntut siap untuk menanggapi harapan masyarakat dan tantangan global yang dipicu perubahan
kemajuan, khususnya di bidang teknologi
digital, yang mesti ditanggapi petugas secara responsif.
Hal itu, ditujukan agar pihak Kejaksaan mampu menyesuaikan diri dalam memelihara citra profesi dan kinerja jaksa tidak bermental korup.
Secara pribadi, penulis tidak menyalahkan sikap yang dilakukan oknum Kajari karena dimungkinkan tindakan itu karena kurang paham.
Sebagai pejabat publik mari membuka diri akan perubahan zaman di era digital ini.
Kalau ada dalam tulisan pihak yang keberatan dengan sebuah pemberitaan yang di rilis jurnalis, bisa memberikan tanggapan dan itu mendapatkan tempat di dalam berita secara adil.
Selama, rilis yang disampaikan bersumber dari pihak yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sambil menikmati segelas kopi, penulis berujar di era digitalisasi ini, memudahkan jurnalis dalam merilis berita.(***)